Rabu, 23 Oktober 2013

Diperkosa Ayah Bejat

"Aaaakkhhh… Ayah
kumohon hentikan aaahkk…" erangnya dengan suara yang memilukan. Namun benda
asing itu terus menyodoknya tanpa ampun, keringat berkucuran dari tubuh pria
paruh baya yang menungganginya itu sehingga butiran bening itu menetes
ke tubuh
mungil seorang pemuda manis yang berumur 17 tahun yang bernama Regi.

"Diam kau anak
sialan! Salahkan ibumu yang selalu sibuk bekerja hahaha… emmmhh…."
Bentar pria
berumur 35 tahun itu sambil terus menusuknya penuh nafsu. Regi sudah tidak
mampu lagi membendung air matanya saat benda keras yang memasuki lubangnya
serasa mengoyak-ngoyak tubuhnya.

Kasur bergetar hebat
seiring dengan pompaan yang diberikannya pada Regi, dengan bringas dia
melumat
bibir dan kuping Regi, dia hanya dapat menutup rapat mata dan bibirnya serta
menerima dengan pasrah perbuatan orang yang telah mengotorinya itu.

Pria paruh baya itu
menahan tangan Regi yang berusaha menghalanginya dan menghisap dan
menggigiti
tubuhnya dengan kasar sehingga menimbulkan banyak bercak merah di leher,
dada,
perut maupun selangkangannya, "Aaaahhh…. Oooohhh… sa-sakit!! Hentikan
kumohon
aaaaakkhhh," jeritnya kesakitan namun pria itu tidak juga menghentikannya,
terus mengenjot penuh nafsu dan egois melahap tubuh anak satu-satunya dari
istri barunya itu.

"Diam bocah!!!"
bentaknya dengan mencekik leher Regi dan terus memompa lubangnya dengan
cepat
dan semakin cepat sehingga…. Crooottt… Croooott… Crooott… cairan kental dan
putih itu melesat masuk seluruhnya di dalam lubang Regi, sehingga lubangnya
basah dan licil, "Eeekkhhhh eemmmhhh kerja ya bagus nak, bahkan lubangmu
jauh
lebih nikmat dibanding ibumu," lanjut pria paruh baya itu kemudian
merebahkan
tubuh di samping Regi.

"Ukkhhh… Eeekkhhh…
Hikhh…" Regi hanya terisak pelan merasakan tubuhnya serasa remuk dan
terkoyak
karena harus melayani nafsu ayah tiri bejadnya itu. Ditariknya selimut untuk
menutupi tubuhnya yang dinodai darah dan sperma, mencoba memejamkan mata dan
tertidur malam itu dengan tubuh yang teramat sakit.

-0-0-0-0-0-

Matahari semakin naik
dan memancarkan sinar yang terik di sela-sela lubang angin dan menyinari
wajah
Regi sehingga membuatnya terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia mencoba
membuka
mata cantik itu perlahan dengan tatapan sayu dia menatap orang yang
tertidur di
sebelahnya. Tercium bau menyengat khas alkohol dari pria yang terbaring di
sebelahnya itu, dan tatapannya langsung berubah menjadi garang dan penuh
kebencian. Dia mencoba bangkit dari tidurnya kemudian menoleh ke sebelah
kiri,
dia menatap sebuah lampu tidur yang penumpunya terbuat dari keramik.
Perlahan
dia meraih lampu tidur itu kemudian menoleh ke arah kanan, sebelumnya dia
tersenyum sinis terlebih dahulu kemudian…

PRAANG!!

Dengan keras Regi
membanting lampu itu ke kepala ayah tirinya, "Aaaakhh anak sialan apa
yang kau
lakukan hah?!!!" teriak pria itu dengan geram dan memegangi kepalanya yang
berdarah. Regi begitu shock melihat ayahnya itu sadarkan diri, matanya
tampak
cemas, dia melompat dari kasur berusaha kabur, "Mau lari ke mana hah??
Rupanya
kau masih ingin 'dihukum'?" lanjut pria itu.

Dengan panik Regi
melemparkan semua benda yang ada di kamar itu dan dia berusaha membuka pintu
namun terkunci! Pria paruh baya itu tersenyum licik dan menangkap tubuh
mungil
Regi dari belakang, dia berusaha lepas dari pelukan itu tapi tubuhnya
terlalu
lemah. Tapi tidak jauh dari tubuhnya terdapat sebuah gunting dan dengan
cepat
meraih gunting itu tanpa perkiraan sebelumnya dia langsung mengarahkan ke
belakang punggungnya…

Creek!

Seketika bahu Regi
bersimbah darah dari mata ayahnya itu, "Aaaarghh sialan aakh kau berani
main-main hah!" bentak ayahnya yang masih sanggup sadarkan diri.

Orang itu kembali
menangkap Regi dan berusaha mencekiknya, "Mati kau anak sialan!"
geramnya.

"Uh...
Uhuk..." dengan susah payah Regi yang terbatuk meraih gunting yang
menancap di mata ayahnya, mencabutnya kemudian menancapkan gunting itu
dengan
geram ke perut ayah tirinya yang bejad itu.

Pria setengah baya
itu melemaskan cekikannya kemudian terjatuh berlutut dan pada akhirnya
terkapar
tidak berdaya. Regi duduk bersendar di dinding, menatap lurus jasad yang
tengkurap itu. Tubuhnya yang bersimbah darah terus bergetar, air matanya
mengalir, rasa takut dan puas membaur menjadi satu.

-0-0-0-

Hari di mana tepat
saat Regi membunuh ayahnya aku berniat berkunjung ke rumahnya. Namaku
Franly,
teman seangkatan Regi sekaligus tetangganya. Saat itu aku berjalan ke arah
rumah Regi, di depan pintu aku menemui ibu Regi yang baru saja pulang
bekerja,
"Pagi, tante," sapaku sesopan mungkin.

"Pagi juga, nak
Franly. Mau main sama Regi ya? Ayo masuk," balas ibunya Regi tak kalah
ramah.

Kami berjalan masuk,
aku cari Regi di kamarnya tapi tidak kutemui namun tidak lama kemudian
terdengar jeritan histeris, "AAAAAAA!" aku menebak itu suara tante
dan dengan segera aku berlari ke arah suara.

"Tante, ada
ap-" suaraku langsung terputus saat melihat kondisi di kamar itu. Banyak
tumpahan darah di mana-mana, tante mengguncang-guncang tubuh mayat itu
sedangkan Regi terdiam dengan tatapan kosong. Dengan cepat aku menghampiri
Regi, "A-ada apa ini Regi?" tanyaku gugup.

Regi menatapku lurus,
"Aku membunuhnya..." ucapnya datar dan menunjuk mayat itu.

Dengan air mata
berkucuran tante membentak Regi, "Dasar anak sialan! Tega sekali kau
membunuh suami ibu! Sebenci apapun kau dengan ayah tirimu tidak
seharusnya kau
begini anak durhaka!"

"Tante tenang
dulu! Biarkan Regi menjelaskan!" bujukku. Aku menatap tubuh Regi yang
polos tanpa sehelai benang pun, kemudian memeluknya, "Regi kenapa kau
membunuh?" tanyaku khawatir.

Dia hanya diam dan
menangis. Aku mengambil selimut yang ada di kasur kemudian menutupi
tubuh polos
Regi.

"Aku akan
melaporkanmu ke polisi agar kau dapat ganjarannya anak sialan!" bentak
tante dengan terisak.

"Tante jangan
gegabah! Dengarkan penjelasan Regi dulu!" aku kembali membujuk namun
percuma, telepon ke kantor polisi telah tersambung.

"Regi, ayo kita
pergi dari sini!" bujukku dengan sangat khawatir.

Dia hanya diam
bagaikan mayat hidup, bahkan tangannya sangat dingin. Aku mencoba
menggendongnya dengan susah payah. Seluruh tenaga kukerahkan sehingga
butiran
keringat berkucuran di pagi itu. Aku berjalan pelan, sangat pelan karena
ukuran
tubuhku hampir sama dengan Regi, apalagi arah pintu begitu jauh.
Berkali-kali
aku terjatuh namun kembali bangkit, Regi memeluk erat leherku.

Setelah bersusah
payah sampai di depan pintu aku kembali terkejut...

"Apa ini
kediaman Regi?" tanya polisi itu yang diiringi 2 polisi lain di belakang.
Aku terdiam, tubuhku dingin karena gugup.

"Iya pak polisi!
Dia pembunuhnya!" teriak suara wanita dari belakang sambil menarik Regi
sehingga terjatuh dari gendonganku.

Tanpa banyak
basa-basi para polisi itu langsung menangkap Regi, "Silakan dijelaskan di
kantor polisi," dan aku pun ikut bersama polisi itu.

-0-0-0-

Mati-matian aku dan
polisi bertanya apa faktor Regi membunuh, tapi dia hanya diam. Hanya satu
kalimat yang selalu terucap dari bibir pink itu, 'Aku pembunuhnya.'

Karena tidak ada
pembelaan bahkan aku pun tidak dapat membantu, akhirnya Regi difonis menjadi
tersangka pembunuhan dan dipenjara selama 15 tahun karena ayahnya meninggal.

Sebelum Regi dibawa
ke penjara aku meminta waktu untuk mengobrol dengannya, "Maaf, aku belum
bisa membantumu. Tapi aku berjanji, aku akan bekerja keras untuk
menebusmu agar
kau bebas," kataku dengan wajah prihatin.

Senyum tipis namun
dingin, tersungging di bibir indahnya, "Tunggu aku," katanya singkat,
kemudian mendekat dan mengecup bibirku dengan lembut dan penuh cinta. Aku
membatu, hatiku serasa diserbu ribuan kupu-kupu cantik. Namun sosok
indah itu
pergi jauh meninggalkanku, dan merasakan kejamnya bui.

-0-0-0-

Dan sekarang, setelah
dua tahun berlalu, aku tau semua yang terjadi antara Regi dan ayahnya.
Hatiku
sangat tersayat dan merasakan kepiluan yang Regi rasakan. Namun penderitaan
segera berakhir, sekarang aku datang ke penjara untuk menebus Regi setelah
kerja kerasku 2 tahun.

"Kau begitu
perduli padaku?" tanya Regi setelah kami berada di dalam mobilku.

"Tentu!"
balasku bersamaan dengan senyuman merekah.

"Kenapa?"

"Karena aku
mencintaimu dari dulu," ucapku pelan dan tersenyum lembut.

Wajah putih pucatnya
langsung berubah menjadi merona. Aku tersenyum jahil, kutarik lembut dagunya
dan mengecup bibir manisnya.

"Aku juga
mencintaimu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar