Senin, 16 Februari 2015

SETELAH PERANG

"Memang kadang dunia ini sepi dan kadang dunia ini ramai. Entah ramai
kebahagiaan ramai kejahatan atau sepi dengan kasih sayang."

Setelah perang dunia ke-3 Aku dan kakakku berkelana menuju Negara
matahari terbit. Sedangkan Negaraku sedang kacau balau. Ribuan jiwa
melayang di mana - mana. Perekonomian hancur. Peradaban manusia hampir
punah. Aku dan kakakku berjalan menuju Jepang hanya bermodal nekat. Aku
sudah mengalami banyak sekali kesedihan. Mulai dari ayah yang di bunuh
oleh orang tak di kenal, Ibuku yang melakukan bunuh diri, dan adikku
yang mati terkena peluru di kepalanya, saat aku, dia dan kakakku
berusaha kabur dari penyegrapan di rumah kami. Dan keluarga yang aku
miliki saat ini hanya seorang kakak yang begitu tegar. Dia menerima
segalanya. Memang kakakku tidak mempercayai agama, tetapi aku percaya
pada kakakku bahwa dia sedang tersesat.

Dua minggu setelah perang dunia ketiga, aku sampai di Negara gajah
putih. Disana semua orang murung, para pemerintah setempat dan beberapa
tenaga sukarela membantu menguburkan ribuan mayat. Aku dan kakakku
membantu negara itu. Dan saat malam hari aku dan kakakku melanjutkan
perjalanan. Aku mulai lelah dan aku meminta kakakku untuk istirahat
sejenak di sebuah rumah yang setengah hanjur. Aku dan kakakku
beristirahat di sana. Kakakku pamit ke aku untuk mencari makanan dan
minuman. Selang beberapa menit aku menemui kakakku sedang membawa
beberapa sepotong roti dan 2 buah botol air mineral. Aku dan kakakku
memakan dan meminumnya. Aku mulai tertidur dan kakakku juga sudah
terlelap saat itu.

Pagi - pagi sekali aku dan kakakku bangun dan melanjutkan perjalanan.
Saat di tengah perjalannan tepatnya di tengah - tengah hutan ada empat
orang tentara dari negara paman sam yang sedang melakukan hubungan
sexual. Aku dan kakakku begitu kaget, sehingga membuat mereka terkejut.
Namun bukannya malu, tentara itu malah tetap melanjutkannya. Tubuh
mereka begitu sexy dengan masih memakai baju tentara yang setengah
terbuka, dia memaju mundurkan tubuhnya. Kontolnya begitu besar. Aku
hanya melamun saja karena pemandangan indah yang belum aku lihat secara
langsung. Jujur aku memang seorang Gay namun aku belum pernah melihat
kejadian seperti itu secara live. Kontolku ngaceng berat, entah mengapa
kaki ini begitu susah di kontrol hinggga membuat aku menuju ke 4 tentara
itu.

Aku berlutut kepada seseorang tentara dan melumat kontolnya yang begitu
besar dan panjang. Aku Lumat kontolnya dengan liar, sehingga membuat dia
mengerang keenakan. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kakakku. Saat aku
sedang lumat kontol itu, aku di tarik dengan kuat oleh seseorang. Aku
lihat ternyata adalah kakakku. Dia menyuruhku untuk cepat lari, namun
aku tolak dan aku melanjutkan melumat kontol tentara itu. Tidak tau
kenapa aku begitu hangat dari belakang. Aku sangat begitu nyaman sekali.
Karena terlalu nyaman aku melepas kontol tentara itu dari mulutku. Aku
terjatuh di dada seseorang yang ternyata adalah kakakku. Aku memandangi
wajahnya yang tampan, Bibirnya yang sexy, hidungnya yang mancung,
matanya yang begitu indah. Aku memejamkan mataku dan "Kisssss" ciuman
pertamaku. Kakakku mulai menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku
sedot - sedot lidah kakakku dengan lembut, membuat sensasi tersendiri
dalam posisi seperti itu. Tangan kakakku mulai melepas kaosku dan
membuka celana jeans yang sudah kotor. Dia remas kontolku yang masih di
dalam CD, aku hanya menikmati saja dengan service kakakku ini. Aku
berbalik arah, karena aku sudah nafsu sejak melihat adegan sex para 4
tentara, aku langsung menuju selangkangannya dan membuka celananya
beserta CDnya. "Wow" kontolnya sama dengan para tentara amerika itu, aku
begitu takjub dengan kakakku ini. Yang usiannya baru 19 tahun sudah
memiliki kontol dengan panjang 22 cm dan diameter 3,5 cm. Aku jilat
ujung kontolnya, aku klik - klik lubang kencingnya. Karena gak tahan aku
emut kontolnya namun bibirku hanya berhenti di antara kepala kontolnya
dan batangnya. Aku jilati daerah itu membuat abangku ini teriak tidak
karuan. Aku sedot terus sampai aku merasakan precum kakakku keluar
dengan banyak.

Aku lepas emutan superku dan aku lepas seluruh celana jeansku. Aku
posisikan kontol abangku ini di lubangku yang masih perjaka. Aku coba
menuruninya namun masih belum berhasil. Karena aku kesel gak masuk -
masuk aku hentakan dengan keras "AHHHHHH" teriakk begitu kencang sampai
menggema di hutan ini. Para tentara amerika itu kaget dengan teriakanku
yang begitu tiba - tiba. Namun keadaan kembali normal, para tentara
amerika itu melanjutkan hubungan sexnya Cowok dengan badge namanya
bernama George di fuck oleh dua kontol besar di anusnya. dia begitu
menikmati kontol itu menggesek - gesek dinding anusnya. Karena tersisa
tentara satunya dia menuju ke aku dan kakakku. Dia menyondorkan
kontolnya ke dalam mulut kakakku. Aku juga sudah beradaptasi dengan
kontol yang berada dalam anusku ini. Aku mulai menggerakan bokongku ini.
Aku lihat kakakku begitu lahap menjilat dan melumat kontol tentara
Amerika itu. Aku gak mau kalau sama kakakku yang liar. Aku juga
mempercepat gerakanku. Saat di tengah - tengah aku menggerakan pantatku,
aku melihat tentara yang di lumat kontolnya oleh kakakku ekspresi
mukanya memerah dan matanya memejamkan dan dia menggigit bibir bawahnya.
Aku tau dengan tanda ekspresi muka itu. Kakakku gak mau meninggalkan
jejak sedikit pun oleh air mani dari tentara itu. "AHHH Fuck!!!!" aku
begitu kaget Karena George sedang orgasme dengan begitu kuat. Dan aku
melihat di anusnya ada lelehan peju yang amat banyak. Kakakku melihat
wajahku. Dia mendekatkan bibirnya ke wajahku, dia menjilati bibirku
layaknya sebuah es krim. Aku menikmatinya. Aku buka mulutku dan aku
sedot kuat - kuat lidah kakakku. Dia begitu menikmatinya, begitu juga
dengan aku. Tangan kakakku menuju ke anusku. Ternyata dia berusaha
memasukan jari - jemarinya kedalam anusku yang penuh dengan kontolnya.
Aku begitu kaget. Segera aku mengetatkan otot - otot yang berada di
anusku. "CROOOTTT" Aku menumpahkan pejuhku ke perut kakakku yang six
pack. Dan aku juga merasa Anusku hangat dan basah. Aku begitu capek
hingga kita semua tertidur lelap.

KELUARGA BESAR

Siang itu matahari lagi panas-panasnya. Pulang sekolah di jam begini
emang menjadi resiko setiap hari buatku yang nggak punya sepeda motor.
Aku harus rela membiarkan kepa
laku dibakar matahari saat menunggu bus di halte, dan belum lagi
perjalanan menembus kampung Rambutan dengan berjalan kaki. Kalau saja
Bapak mau membelikanku motor seperti teman-temanku yang lain, aku nggak
perlu kerepotan kalau mau ke mana-mana. Yahhh, mungkin punya motor
memang bisanya cuman jadi impian saja. Bapak bukan orang berada,
pekerjaanya hanya seorang satpam. Gajinya pun hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-sehari, biaya sekolah aku dan adik-adikku, dan belum
lagi, untuk membeli susu untuk si bungsu yang baru berumur enam belas bulan.
Aku lima bersaudara. Aku paling besar. Kebayangkan berapa usia
adik-adikku. Di umurku yang baru menginjak enam belas tahun ini, aku
sudah bisa berpikir dewasa. Ada rasa kesal dan marah melihat sikap Bapak
yang semena-mena. Emang, sih bapak cuman lulusan SD, sedangkan Ibuku
lulusan SMP. Pendidikan kedua orang tuaku memang tak semulus yang aku
jalani, makannya mereka tidak mengerti apa itu KB. Kalau saja Bapak dan
Ibu dibiarkan terus berhubungan intim, mungkin dalam setahun Ibu bisa
hamil. Berapa jumlah saudaraku nantinya? Akan diberi makan apa mereka?
Bersekolah dengan biaya siapa mereka? Bapak emang nggak pernah berpikir.
Gaji rendah begitu untuk membiayai keluarga dengan lima anak?
Kepalaku berdenyut-denyut saat memikirkan nasib keluargaku ke depannya
kelak. Ingin sekali aku bekerja untuk membantu orang tua, tapi apa daya
aku belum lulus sekolah. Kerja jadi pelayan restoran pun harus lulusan
SMA sekarang. Fiuh, sambil mendesah aku memasuki gang kampung kecil
tempat tinggalku.
Saat melewati kamar mandi umum yang letaknya pas di tengah-tengah gang,
tak sengaja aku berpas-pasan dengan Mas Mulyono, tetanggaku, seorang
satpam pabrik teman bapak yang selama ini diam-diam aku taksir. Tubuhnya
begitu tegap berisi dengan kulit gelap karena sering dibakar matahari.
Ya, aku ini gay. Aku sudah menjadi gay sejak SMP. Waktu itu memang aku
masih merasa menjadi anak normal. Masih menyukai teman cewek di sekolah,
tapi semenjak aku mendapatkan pelecehan seksual dari tukang kebun
sekolah, aku menjadi seperti ini. Belum lagi masalah penolakan cintaku
waktu itu oleh seorang teman cewek, yang malah membuatku membenci cewek,
karena selain menolak cintaku, dia juga menghinaku.

Dua kombinasi yang sempurna, yang akhirnya mendorongku menjadi seorang
gay. Aku tahu, menjadi gay itu dilarang di semua agama, tapi aku merasa
kalau menjadi gay adalah pilihan hidupku. Aku tidak percaya takdir, mana
mungkin Tuhan mentakdirkanku menjadi seorang gay, selama manusia masih
bisa memilih yang baik untuk mereka.

Kondisiku yang doyan kontol laki-laki, membuatku sering mengidam-idamkan
sosok yang bisa mencintaiku secara lahir dan batin. Aku rindu kasih
sayang. Selama ini bapak cuman sibuk bekerja dan jarang bercengkrama
dengan anak-anaknya, apalagi denganku. Bapak termasuk orang yang dingin.
Bapak cuman bisa berubah jadi hangat kalau ada maunya ke Ibu. Biasanya,
sih minta jatah berhubungan intim. Rumah kami yang sederhana itu sudah
over kapasitas. Akupun juga masih harus berbagi tempat tidur dengan
adik-adikku. Mana aku punya privasi, apalagi aku ini anak yang baru saja
tumbuh menjadi dewasa. Butuh ketenangan dan area sendiri untuk
mengembangkan diri. Saking sempit dan kecilnya rumahku, aku malah bisa
dengan jelasnya mendengar desahan kedua orang tuaku di kala mereka
bercinta di kamar sebelah.

Terkadang juga saking horney mendengarkan mereka, aku onani sambil
membayangkan kalau akulah yang sedang bercinta dengan Bapak. Bapak
sendiri juga orangnya gagah, tapi pikirannya terlalu dangkal. Kerjanya
hanya mengandalkan otot, makannya melindungi keluarga bisanya cuman
pakai otot, nggak pakai otak.

"Baru pulang, Gus!" Tegur Mas Yono sambil mengeringkan rambutnya dengan
handuk.

Aku menelan ludah saat melewatinya. Mataku tak pernah lepas dari kedua
puting susu yang ada di dadanya. Warnanya gelap dan sangat menggoda
seperti permen kopiko. Aku cuman bisa mengangguk sambil berusaha untuk
tidak terlalu kenatara menunjukkan ketertarikanku padanya. Memandang
tubuh seksinya memang susah ditolak, apalagi untuk gay sepertiku ini.
Tubuh Mas Yono laksana sebuah magnet berkutub utara, sedangkan mataku
ini magnet berkutub selatan. Ada gaya tarik menarik di antara kami.

"Masuk siang, Bang?" Aku malah balas bertanya.

"Yoi, tugas jaga sampai malam."

"Ohhhh! Bapak masuk pagi tuh tadi, paling entar sore pulangnya. Udah
jareng satu shift sama Bapak, ya?"

"Iya, padahal kalau kebagian jatah malam kita sukanya main catur bareng
di post, kalau nggak ya saling pijit pakai minyak gosok kalau lagi musim
hujan. Hehehehe..."

Saling pijit? Sontak saja aku merasa iri dengan Bapak yang bisa
menyentuh tubuh Mas Yono saat memijit.

"Kalau gitu aku pulang dulu, Bang. Laper, pengen buru-buru makan!"

"Sip!" Mas Yono langsung menyampirkan handuk kecil itu di bahunya sambil
melenggang masuk ke rumah kontrakannya yang tak jauh dari tempat mandi umum.

Sebelum beranjak dari situ aku sempat melihat kedua pantat seksinya
tercetak jelas pada celana bola yang dikenakannya. Seketika itu juga
kontolku berdenyut-denyut. Biasanya kalau aku lagi horney begini suka
onani di rumah, kalau emang iya rumah keadaanya lagi sepi.

Ngomong-ngomong soal Mas Yono. Sayangnya dia sudah menikah dengan
seorang TKW yang sekarang ini masih bekerja di Hongkong. Keluarga kecil
mereka telah dikaruniai seorang anak perempuan berumur 4 tahun, tapi
setahun lalu meninggal karena penyakit demam berdarah. Aku sempat merasa
iba dan kasihan melihat Mas Yono, apalagi kalau sekarang dia hidup
sendiri karena ditinggal istri merantau ke negeri orang. Laki-laki
seperti dia pasti butuh perhatian, butuh teman, butuh melampiaskan
birahinya kalau sedang tinggi. Mana mungkin dia meminta istrinya pulang,
orang dia sendiri sadar kalau hidup dengan gaji seorang satpam di kota
besar ini nggak cukup.

Aku jadi penasaran. Kalau Mas Yono lagi horney, apa yang dia lakukan?

****

Waktu subuh aku terjaga dari tidurku. Tubuhku terasa pegal karena harus
tidur di lantai, karena harus mengalah dengan adikku yang nomor tiga,
yang ingin tidur di kasur. Sebagai seorang kakak yang sudah bisa
berpikir dewasa, aku malah sering mengalah dengan adik-adiku. Bukan
hanya untuk urusan siapa yang tidur di kasur, tapi juga urusan makanan.
Aku terkadang harus rela makan nasi dengan kerupuk, supaya adik-adikku
bisa makan tempe. Kalau sudah prihatin begitu, rasanya aku ini juga
ingin menangis dan marah. Ingin aku membantu, tapi aku masih belum mampu.

Setelah keasadaraanku penuh, aku beranjak untuk membantu ibu menyiapkan
gorengan yang biasanya dititipkan ke warung-warung untuk menambah uang
makan satu keluarga, karena sudah jelas nggak cukup kalau mengandalkan
gaji bapak. Setelah membantu Ibu aku baru bisa mandi di tempat mandi
umum, dan langsung berangkat sekolah dengan perut masih kosong. Mana
mungkin aku merasakan yang namanya nikmat sarapan pagi.

Saat berangkat ke sekolah lagi-lagi aku berpapasan dengan Mas Yono. Dia
baru kembali dari kerja. Tampak dia sedang melepaskan helmnya di depan
rumah. Seragam satpam yang berwarna hitam-putih itu menempel ketat di
tubuhnya bagaikan kulit ke dua. Pagi-pagi begini sudah bertemu pria
idaman. Hilang sudah lapar di pagi hariku. Semoga saja setiap hari aku
bisa melihat Mas Yono terus, supaya penat hidupku bisa hilang.

"Sekolah, Gus!" Tegurnya saat aku sampai di depan rumahnya. "Sekolah
yang rajin!"

"Beres, Bang! Pagi ini aku semangat banget." Hehheheh, semangat karena
ketemu denganmu, Bang. Tambahku di dalam hati.

"Wah, kalau semua pelajar semangatnya kayak kamu, bisa maju negara ini!"
Pujinya yang berakhir dengan bersemu merah pipiku. "Kamu berangkat
sekolah naik apa?" Lanjutnya bertanya kemudian.

"Biasa, Bang. Naik Bus. Ini harus jalan kaki sampai jalan raya di depan!"

"Mau aku antar?"

"Ahhh, nggak usah, Bang. Bang Yono kan baru pulang kerja,pasti capek."

"Udah, nggak apa-apa! Abang antar sampai depan jalan saja." Serunya
sambil naik ke atas motornya dan menyalakan mesin. "Ayo, naik!"

Aku naik di atas boncengan. Tubuh bagian depanku merapat dengan punggung
Mas Yono yang bidang. Motor berjalan keluar dari gang, melintasi jalan
berbatu. Motor yang jalannya nggak setabil membuatku harus berpegangan
pada bahunya. Sentuhan itu membuat tubuhku menegang bukan main. Aku bisa
merasakan kerasnya otot bahunya itu.

"Pegangan, Gus biar nggak jatuh."

"Iya, Bang!" Aku berpegangan pada bahunya dengan kedua tanganku.

"Kalau gitu kurang kuat. Peluk perut, Abang!" Serunya di sela-sela deru
suara motornya yang berisik.

Hah? Aku nggak salah dengerkan. Tapi, berlahan aku melingkarkan tanganku
di perutnya. Jadi ceritanya aku sedang memeluknya dari belakang sekarang
ini. Sekejap aku langsung bisa merasakan kehangatan menyingkirkan udara
dingin pagi hari yang menusuk tulang. Samar-samar aku mencium bau rokok
dari seragam satpam Mas Mulyono yang bercampur bau parfum murah dan
keringat. Kombinasi yang memanjakan hidung. Kalau tidak sedang dalam
keadaan sadar, bisa-bisa aku langsung merebahkan kepalaku di punggung
bidangnya.

Terima kasih kepada jalan kampungku yang tidak rata dan berbatu-batu.
Akhirnya setelah sampai di jalan raya aku terpaksa melepaskan pelukanku,
dan melompat turun.

"Makasih, Bang!"

"Sama-sama, Gus! Abang balik dulu, ya mau langsung mandi terus tidur."

Wajahku langsung cerah begitu melihat senyumannya. Ahhh, andai saya dia
yang menjadi bapaku. Sempat terbesit pikiran seperti itu. Mana pernah
Bapak punya pikiran untuk mengantarku ke sekolah. Boro-boro, deh. Ke
depan jalan seperti ini saja nggak pernah. Pas gue berangkat saja Bapak
masih ngorok di tempat tidur. Mana bisa dapet rezeki kalau pagi-pagi
masih tidur kayak beruang kutub. Rezeki bisa dipatok ayam!

Ahhh, tapi aku tidak menginginkan Mas Yono menjadi ayahku, melainkan
kekasihku. Aku ingin dicintai olehnya, aku ingin menjadi orang yang
menyambutnya pulang bekerja dengan senyum semeringah tanpa beban, aku
ingin menjadi pemuas hasratnya, dan aku ingin menjadi teman hidupnya
sampai di hari tua. Ahhh, aku cuman bisa berhayal. Apa yang bisa
diberikan oleh seorang pelajar miskin sepertiku ini? Mungkin hanya
menjadi teman pemuas napsu birahinya. Ahhh, nggak mungkin. Mana doyan
Mas Yono sama gay sepertiku. Aku mendesah, jengah dengan kehidupanku,
jengah karena hasrat dan rasa sukaku ini tak tersalurkan.

****

Malam ini kayaknya aku nggak bakal bisa tidur di kasur lagi. Setelah
mengerjakan PR, aku masuk ke kamar dan melihat adik-adikku sudah pasang
badan di atas tempat tidur. Aku mendengus, berusaha sabar, karena nggak
mau membuat keributan. Bisa-bisa aku dimarahi Ibu dan Bapak karena nggak
bisa mengalah. Ahh, yang benar saja. Sudah bosan aku mengalah. Sengaja
aku tidak langsung rebahan di atas lantai kamarku, tapi aku malah keluar
dari rumah tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku yang mungkin udah tidur
pulas di kamarnya, karena seharian sibuk bekerja.

Udara malam yang dingin lumayan menusuk, apalagi angin berhembus cukup
kencang. Kampungku memang selalu sepi kalau malam. Jarang ada
Bapak-bapak yang berkumpul hanya untuk sekedar ngopi bersama sambil main
catur. Kebanyakan mereka sudah teramat lelah dan memilih kasur dan
guling mereka untuk menjadi teman malam. Aku memutuskan untuk kencing ke
kamar mandi umum. Semua orang di kampungku menggunakan fasilitas umum
itu untuk mandi, BAK, dan mencuci baju. Ada sumur di depan bilik-bilik
berisi bak mandi dan koset yang jumlahnya ada lima itu. Setiap pagi
memang selalu menjadi rebutan, bahkan malah menjadi pemandangan rutin
yang terkadang menarik perhatian.

Saat aku masuk ke dalam salah satu bilik yang kosong dan mengeluarkan
kontolku dari dalam celana untuk pipis, tiba-tiba saja telingaku
menangkap suara orang mandi dari seberang. Siapa yang mandi malam-malam
begini? Dalam kesunyian malam hanya terdengar suara air yang disiramkan
membasahi tubuh dan suara air seniku yang masuk ke kloset. Tapi kemudian
aku menangkap suara baru dari bilik sebelah. Senandung sebuah lagu
dangdut yang lagi naik daun di teve. Suaranya aku kenal. Ini suaranya
Mas Yono.

Jantungku bukan main deg-degannya. Di sebelah Mas Yono sedang telanjang
dan mandi. Ingin sekali aku melihat tubuh telanjangnya sekali seumur
hidup. Berkali-kali aku melihat bagian atas tubuhnya, tapi aku sama
sekali tak pernah melihat bagian bahwanya. Bagaimana bentuk kontol Mas
Yono? Ahhhh, bapak-bapak seperti dia pasti jembutnya lebat. Aku mengigit
bibir, kakiku gemetaran. Ada niatan untuk mengintip dari atas karena
bilik-bilik mandi ini tidak beratap, tapi aku tidak berani melakukannya
karena takut ketahuan. Lama kau berpikir, menimbang-nimbang keputusanku,
sementara itu dari bilik sebelah sudah tidak terdengar suara apapun.

Kutajamkan pendengaranku. Mas Yono sudah selesai mandinya, dan mungkin
sekarang sedang mengeringkan badan. Kemudian aku mendengar suara orang
bersiul-siul dari sebelah. Kecewa karena kesempatan ini aku lewatkan
begitu saja. Memikirkan bisa mengintip Mas Yono saja sudah membuat
kontolku berdiri, apalagi kalau bisa dengan mata kepalaku sendiri
melihat tubuh telanjangnya. Mungkin aku bisa-bisa ejekulasi langsung di
depan Mas Yono.

Aku keluar dari bilik bersamaan dengan Mas Yono ternyata. Kami saling
memandang terkejut.

"Eh, Bagus!"

"Eh, Bang!" Aduh, kok kompak banget ngomongnya.

"Habis ngapain?"

"Kencing." Jawabku singkat. Aduh, kepo ya laki ganteng satu ini.
Hehehhehehe! "Mas Yono kok malem-malem mandi. Nggak baik lho, bisa kena
angin duduk."

"Habisnya di rumah gerah."

"Gerah soalnya nggak ada yang nemenin." Candaku kemudian.

"Ah, kamu bisa saja!" Serunya sambil mendorong bahuku. Kemudian kami
sama-sama berjalan menuju rumah Mas Yono.

"Eh, serius, deh Bang. Emang Abang nggak ngerasa kesepian tinggal sendiri?"

"Yah, kadang-kadang terasa, sih. Tapi, kalau sendiri begini, serasa
menjadi lajang lagi."

"Ahhh, kalau mau selingkuh enak, kan biar nggak ketahuan." Godaku lagi.
"Aduh, kasihan bener Mbak Lasminya..."

"Kamu ini kecil-kecil tahu apa tentang selingkuh!" Hardiknya dengan gaya
bercanda.

"Aku kadang juga pengen lho, bang sendirian barang sehari saja. Bosen
sama keramaian...." Ehh, kok aku jadi curhat colongan begini.

Mas Yono mengusap wajahnya dengan handuk dan menyadari perubahan raut
wajahku.

"Punya saudara banyak nggak jadi jaminan hidup bahagia. Seperti sekarang
ini, aku harus ngalah tidur di lantai cuman gara-gara adikku sudah
pasang badan di kasur."

"Kamu mau tidur di rumah, abang malam ini?"

Jantungku tiba-tiba berhenti berdetak. "Hah? Boleh, bang?"

"Ya, daripada tidur di lantai. Kamu kan bisa tidur sekasur bareng abang,
toh selama ini abang cuman tidur sendiri. Bagaimana, mau tidak?"

Tidur sekasur? Dengan Mas Yono? WAHHHHHHHH! Mimpi jadi kenyataan. Aku
mengangguk dengan semangat!

"Sudah bilang sana ke orang tuamu biar mereka nggak mencari!" Perintah
Mas Yono.

"Ahhh, nggak perlu! Palingan sudah molor semua. Besok saja subuh-subuh
aku balik ke rumah. Makasih, ya Bang!" Seruku sambil nyelenong masuk ke
dalam rumah Mas Yono setelah dibukakan pintu.

Ahhhh, malam ini akan tidur berdua saja dengan Mas Yono di rumahnya.
Asyik, asyik! Saking girangnya aku nggak bisa menyembunyikan raut
wajahku yang seperti kejatuhan undian berhadiah uang satu milyar.

"Kamu girang banget, Gus!"

"Iya, dong Bang! Bisa tidur di kasur, hangat lagi." Hangat karena di
sebelahnya ada tubuhmu Bang! Seruku dalam hati. Hehehhehehehhehe!

"Ya, sudah naik ke kasur sana. Abang mau ganti baju dulu!"

Aku langsung melompat ke kasur yang cukup untuk dua orang itu. Aroma
tubuh Mas Yono bisa tercium dari bantalnya. Baunya, sih agak aneh, tapi
aku suka. Nanti malam akan aku endus-endus bau bantal ini sebagai
pengantar tidur. Kemudian aku melihat Mas Yono membuka lemari pakaian,
mengeluarkan sebuah singlet putih yang warnanya sudah tidak putih lagi,
tapi bersih, dan langsung mengenakannya. Aku berdecak kecewa karena
pemandangan tubuh indah itu menghilang dari pandangan.

Tapi sejurus kemudian tubuhku mematung saat Mas Yono melepaskan celana
kolornya di depanku. Aku melihat celana dalamnya yang membungkus
selangkangan dan bokong kencangnya itu. Tonjolan di depan selangkannya
itu apalagi. Tubuhku rasanya berdesing mengeluarkan uap panas saking
terbakarnya gairahku yang disulut mendadak.

Mas Yono mengenakan kain sarung yang dililitkan ke pingganya dan
langsung naik ke tempat tidur. Tubuhku menengan saat lengan kami
bersentuhan. Aku sengaja menggeser tubuhku menjauh supaya Mas Yono juga
merasa nyaman berada di tempat tidurnya.

"Abang, kalau tidur nggak pakai celana?"

"Iya, cuman pakai celana dalam sama sarung. Emang kenapa?" Tanyanya
kembali sambil melirikku.

"Nggak, nggak ada apa-apa. Cuman tanya doang!"

Kemudian hening cukup lama. Kami sama-sama belum merasa mengantuk.
Akhirnya Mas Yono juga yang memecah kesunyian.

"Kamu kayaknya banyak pikiran, Gus. Emangnya ada masalah apa di rumah?"

Aku menoleh ke samping, kepala kami hanya berjarak sepuluh cm saja
ternyata. Ada keinginan untuk mencurahkan beban pikiran kepada Mas Yono.
Aku rasanya ingin di dengarkan. Aku ingin membagi bebanku, ingin Mas
Yono tahu apa yang sedang menjadi pergumulan hatiku. "Pusing punya
banyak saudara, harus ngalah, padahal aku sendiri butuh perhatian."

"Perhatian Bapakmu?"

"Ya, iyalah, Bang. Aku ini anak baru gede, butuh bimbingan, butuh
disayang juga, butuh contoh. Sayangnya contoh di rumah cuman bisa kasih
tahu gimana caranya bikin anak banyak-banyak."

Mas Yono tidak menegurku meskipun nada bicaraku kasar. Tubuhnya miring
menghadapku. Aku juga memiringkan badanku untuk menghadap ke arahnya.
Kami berdua akhirnya saling berhadapan. Ahhh, kontolku menegang seketika
karena perhatian Mas Yono tercurah kepadaku. Wajahnya yang ganteng,
kulitnya yang terbakar matahari itu begitu mempesona. Aku ingin sekali
menyentuhnya, merebahkan kepalaku di dadanya, menghirup aroma tubuhnya.
Ahhhhhh... aku mendesah dalam hati.

"Abang nggak bisa berbicara banyak, takut dikira bapakmu ikut campur.
Tapi, abang cuman bisa bantu satu hal. Kalau pas mau tidur kamu nggak
dapet bagian tempat di kasur, kamu boleh tidur di rumah abang."

"Beneran, Bang?" Wajahku tampak berbinar.

Mas Yono mengangguk. "Sudah, ayo tidur. Besokkan kamu harus sekolah."

Aku mengangguk dan memejamkan mata. Sepuluh menit berlalu tapi aku sama
sekali tidak bisa masuk ke alam bawah sadarku. Aku masih terjaga
meskipun mataku terpejam rapat. Karena tak tahan akhirnya aku membuka
mata dan menemukan Mas Yono tengah tertidur lelap di sampingku. Tubuhnya
terlentang dengan sarungnya yang menyingkap ke atas dan memperlihatkan
pahanya.

Kontolku berdenyut-denyut. Kutajamkan pandanganku. Aku bisa melihat
celana dalam Mas Yono dari posisiku sekarang. Ada bulu-bulu berwarna
hitam yang menyembul dari selangkangannya. Sepertinya bulu jembutnya
terlalu lebat sampai-sampai menjuntai keluar dari celana dalam seperti
itu. Aku menelan air liur untuk membasahi tenggorokanku yang kering.

Udara terasa panas membakar tubuhku, padahal sudah ada kipas angin yang
berputar di atas plafon. Aku duduk di samping Mas Yono, mataku masih
memandang ke selangkangannya. Ingin sekali aku melihat kontol di balik
celana dalam itu. Seperti apa bentuknya. Ahhh, bagaimana kalau kontol
itu masuk ke dalam mulutku? Aku tidak pernah merasakan kontol di dalam
mulutku. Setiap menonton blue gay video, aku selalu menyukai adegan oral
yang dilakukan aktor gaynya. Kelihatannya sangat menikmati sekali
menjilat-jilat kontol, seperti menjilat-jilat permen loli.

Tiba-tiba saja tanganku terulur dan menyentuh kain sarung di bagian
ujung sebelah bawah. Tampak hati-hati supaya Mas Yono tidak menyadari
gerakanku yang menyingkap sarungnya lebih ke atas lagi. Saru itu kubuka
sampai perut, dan sekarang aku benar-benar bisa melihat selangkangannya
yang terbungkus celana dalam dengan bebeas.

Tonjolan di balik celana dalamnya begitu memukau. Segera kusentuh
tonjolan itu dengan telapak tanganku. Sekali sentuh, tapi tidak ada
reaksi dari Mas Yono. Aku gemetaran, tapi aku tetap saja menyentuh,
malah sekarang aku berani mengelus-elus kontol Mas Yono.

Kontol itu mulai mengeras. Sentuhanku ternyata merangsang saraf-saraf
kontolnya untuk menegang. Tanganku langsung kutarik mundur begitu Mas
Yono menggerakkan kakinya. Aku deg-degan bukan main takut ketahuan. Tapi
setelah jeda yang cukup lama, aku bisa memastikan kembali bahwa Mas Yono
masih tetap tertidur. Kusentuh sekali lagi tonjolan itu, dan sudah.
Cukup. Paling tidak aku sudah bisa melampiaskan sebagian hasratku.

Saat tangan ini terulur, tiba-tiba saja Mas Yono terbangun. Aku
buru-buru menarik tanganku mundur dan mendekapnya di perut. Mas Yono
memandangi wajahku dengan heran. Aku langsung memucat, dan keringatku
bercucuran membasahi kening.

"Kamu sedang ngapain?" Tanya Mas Yono dengan suara berat. Kesadaran
belum sepenuhnya menguasai dirinya.

Aku memandang selangkangan Mas Yono untuk memberi kode. Mas Yono melirik
bagian bawah tubuhnya. Sarungnya sudah tersingkap sampai ke perut, dan
celana dalamnya sekarang sedang unjuk pamer di depanku.

"Kamu ngelihatan kontol, Abang?"

Wajahku menegang, mataku melotot. Aku ingin menggeleng untuk menyangkal,
tapi yang muncul malah senyum malu yang tersungging di bibirku.

"Kontol abang gede banget. Celana dalamnya sampai sesak begitu."

"Hahahha, nih lihat. Begini kalau nggak di kurung." Tiba-tiba Mas Yono
memlorotkan celana dalamnya sampai ke lutut.

Aku tercekat bukan main. Aku melihat kontolnya yang sudah setengah bagun
itu. Batang kontolnya berwarna hitam, dengan kepala kontol berwarna ungu
kemerahan. Jembutnya lebat, keriting dan kelihatan tak penah di cukur,
dan dibiarkan tumbuh sembarangan seperti semak belukar. Aku menelan
ludah, mataku mendelik tak berkedip. Kemudian Mas Yono mengurut-urut
kontolnya sampai bangun. Sekarang kontolnya itu tegak berdiri.
Panjangnya 15cm dengan diameter kira-kira 4cm.

"Lihat kalau lagi ngaceng tambah gede, kan?"

Aku mengangguk penuh semangat. Mataku masih tak lepas dari benda pusaka
milik Mas Yono. "Boleh aku pegang, Bang?"

"Hah? Abang nggak salah denger, nih?"

"Cuman penasaran saja. Aku nggak pernah ngelihat kontol orang lain soalnya."

"Masa? Kontol bapakmu nggak pernah lihat?"

Aku menggeleng. "Kamu tahu, Gus! Kontol bapakmu lebih gede dari punya,
abang!"

Aku terkejut. "Beneran, Bang?"

Mas Yono mengangguk. "Waktu itu kita pernah mandi bareng di kali sewaktu
ikut perkemahan."

Aku jadi mengingat acara dramawisata pabrik tempat bapak bekerja.
Pabriknya mengadakan acara kemping. Bapak sama Mas Yono waktu itu ikut.
Kira-kira dua hari dua malam acaranya. Wah, jadi bapak dan Mas Yono
bener-bener pernah mandi bareng. Aku nggak salah kalau menaruh iri
dengan bapak. Sialan! Umpatku dalam hati.

Aku menelan ludah bersamaan dengan tanganku yang menghampiri kontol Mas
Yono. Dengan mantap kugenggam batang kontolnya itu. "Wow! Kayak pegang
botol..."

"Ahhh, tanganmu basah, Gus. Kamu keringetan, ya?"

"Iya, nih." Tanpa sadar tanganku mulai mengurut-urut kontol Mas Yono.

"Ahhh, tanganmu ngapain, Gus?" Mas Yono merem melek menikmati kontolnya
yanag aku urut-urut.

"Abang suka, nggak? Kalau suka aku lanjutin, ya?"

"Beneran, Gus? Kamu ini kenapa, sih? Kamu homo, ya?"

"Perkara homo atau tidak aku nggak mau menjawab. Yang penting aku suka
sama kontol, abang!" Seruku sambil kali ini mengocok batang kontol Mas Yono.

"Ahhh, kamu coliin kontolku, Gus! Enak banget. Udah lama nih, pejunya
nggak dikeluarin!"

"Kalau gitu aku keluarin, ya Bang?"

"Iya, iya... essshhh, ahhhh..." Mas Yono sudah tidak bisa berkata
banyak. Yang keluar dari mulutnya hanyalah desah-desahan yang
menggelitik telingaku.

Kukocok kontolnya itu semakin cepat, dan Mas Yono mulai
menggelinjang-gelinjang di atas tempat tidur. Tangannya di rentangkan di
atas kepala, memakerkan kedua ketiaknya yang berbulu.

"Ohh, ohhh, Ahhhh, ahhh, kocokanmu enak, Gus!"

Aku tersenyum memandangi wajah Mas Yono yang keenakan menerima
serviceku. Karena sudah dibakar gairah akhirnya aku menurunkan kepalaku
dan memasukan kontol Mas Yono ke dalam mulutku. Aku menghisap kepala
kontolnya, memainkan lidahku dengan lincah, menyapu kulit ungu kemerahan
itu, sampai membuat Mas Yono kelojotan.

"Gus, kamu ngemut kontolku, Gus? Ahhhh, Ahhh..."

"Gimana, Bang enak nggak? Kalau boleh aku terusin, nih..."

"Ya, ya, ya, kamu emut-emut terus. Sampai masuk semua, Gus kalau bisa!"

Hop! Kumasukkan kontol itu sampai ke pangkalnya. Aku hampir saja
tersedak karena kepala kontolnya menyentuh tenggorokanku. Kontol Mas
Yono sudah basah dengan air liurku. Lidahku menyapu setiap bagiannya
dengan lincah, sambil sesekali kulepas emutanku, dan kugantikan dengan
mencolikan kontolnya.

"Ohhh yeah! Ahhhh, ahhhh, Ahhhhhhhh!"

Kuplorotkan celana dalamnya betul-betul dan kulempar ke bawah kasur.
Kulepas juga sarungnya dan segera sarung itu menyusul temannya di bawah
kasur. "Bang boleh kubuka singletnya? Aku ingin melihat tubuh
telanjangmu yang seksi. Sudah sejak lama aku mengidam-idamkannya."

Mas Yono dengan sendirinya melepas kain terakhir yang menempel di
tubuhnya. Sekejap kemudian Mas Yono telanjang bulat, kelojotan sambil
mendesah-desah.

"Hisapanmu lebih enak dari pada hisapan istriku, Gus!"

"Kalau begitu, mendesah lagi, Bang. Yang keras supaya aku bisa
terangsang juga."

"OHHHH, OHHHHH, AHHHHHHHH!" Mas Yono mendesah-desah.

Kucubit puting dadanya tiba-tiba, dan itu semakin membuat Mas Yono
mengeliat tak berdaya. Kuhisap putingnya yang hitam itu, kugigit sedikit
ujungnya, dan kumain-mainkan dengan lidahku.

"Oh, yeah... ahhhh! Hisap, Gus! Ahhhhh? Ya, begitu... Ahhhhh!"

Kuremas-remas dadanya, perutnya, kemudian, buah pelirnya yang seperti
buah jambu itu. Tangan kiriku sibuk meremas-remas buah pelirnya,
sedangkan tangan kananku sibuk mengocok kontol Mas Yono sambil sesekali
aku memainkan lubang kencingnya dengan ujung lidahku.

Cairan percum merembes keluar seiring dengan desahan tertahan Mas Yono.
Tubuhku benar-benar di bakar gairah. Aku segera melucuti pakaian dan
celanaku, sampai akhirnya aku sama-sama telanjang di tempat tidur. Aku
naik ke atas tubuh Mas Yono, kugesek-gesekkan kontolku dengan kontolnya.

"Ahhh, ahhhh! Ayo, Bang kita main pedang-pedangan malam, ini..."

Pinggul kami saling bergerak, menyodorkan kontol masing-masing. Desahan
kami saling bersahutan dan menghiasi malam. Kumainkan putingnya lagi
sampai Mas Yono mengaduh karena aku mengigit puting kanannya terlalu keras.

"Pelan, pelan, Gus!"

"Aku sudah nggak sabar, Bang. Entotin aku sekarang."

"Kamu yakin, Gus?"

"Yakin, Bang. Ayo, Bang buruan." Aku segera merebahkan tubuhku ke kasur.
Kukangkangkan kaiku membuka menyodorkan pantatku ke depan. Mas Yono
berlutut di depan kangangan pahaku, mengarahkan kontolnya tepat di depan
lipatan pantatku.

Mas Yono membasahi tangannya dengan air liur, kemudian diusap-usapkannya
tangan yang basah itu ke kontol dan lubang anusku sampai berkali-kali.
Kemudian aku merasakan kepala kontol Mas Yono mendesak masuk.

"AHHHHHHHH!" Aku menjerit, tapi buru-buru Mas Yono membungkam mulutku.

Air mata membanjiri pikiku. Rasanya sakit sekali, tapi Mas Yono
sepertinya juga sudah sangat bergairah sehingga sudah menghiraukan rasa
sakit yang diakibatkan kontolnya yang besar itu kepada anusku.

Blessss! Kepala kontolnya terbenam di dalam anusku. Mas Yono terus
mendorong kontolnya masuk.

"AHHHHHH SAKIT BANG!" Aku sampai mengigit tagan yang membungkam mulutku.

"Shuuuut, sedikit lagi! Kamu sendiri, yang minta kan? Tanggung, nih..."

"Pelan-pelan, Bang."

"Iya, ini pelan-pelan." Mas Yono mendorong kontolnya masuk lagi, diringi
dengan desahan napasnya yang berat.

Bleeeees! Jlep! Kontol itu masuk sampai ke pangkal-pangkalnya di dalam
lubang anusku. Aku bisa merasakan jembut Mas Yono menggelitik buah
pantatku. Kemudian Mas Yono mulai menggenjot pantatku pelan-pelan.

"Auuuh, auuhh, auuuh, auhhhh!" Aku mendesah-desah.

"Hosh, Hosh, Hosh! Ahhh, Lu...bang...anusmu, sempit, Gus. Ahhh, Ahhh!
Lebih sempit dari memek perawan. Ahh, Ahhh, Abang percepat lagi, ya?"

"Jangan, Bang. Masih sakit." Aku memohon. Sekarang ini rasanya anusku
seperti disobek-sobek. Rasanya perih dan panas.

Plop! Plop! Plop! Mas Yono menghujamkan kontolnya di anusku bertubi-tubi
sampai berbunyi clepok! Clepok! Clepok! Suara selangkangannya memukul
pantatku.

"Ahhh, ahhhh, ahhhh, ahhh!" Aku mendesah keenakan bercampur rintihan sakit.

Mas Yono membekap tubuhku, menindihi tubuhku, sementara pinggulnya tak
berhenti bergerak menghujamkan kontolnya ke dalam anusku. Aku memeluk
lehernya kuat-kuat, merapatkan tubuh kami. Mas Yono menjulurkan lidahnya
dan menjilati bibirku. Aku membuka mulutku dan ikut menjilat-jiat
lidahnya. Lidah kali sedang bertarung sekarang. Kami akhirnya berciuman.
Mas Yono menghisap bibirku. Oh, beginikah rasanya ciuman ini. Mas Yono
adalah ciuman pertamaku.

Clepok! Clepok! Clepok! Kontolnya terus merojoki anusku. Pahaku terasa
ngilu karena terlalu lama mengangkang, dan rasa sakitya bener-bener tak
terlukiskan. Anusku serasa terbakar, ususku serasa diaduk-aduk dengan
blender. Tapi melihat Mas Yono begitu bersemangat mengentotiku, aku jadi
berusaha kelihatan menikmatinya juga.

"Ahhh, ahhh, ahhh, ahhh!"

"Gus, abang mau keluar, Gus!"

"Keluarin saja, Bang! Keluarin di mulutku."

"Kamu mau meminum pejuhku, Gus?"

"Iya, Bang. Kuhisap sampai habis..."

"Sebentar, Gus. Sebentar lagi, abang keluar. Anusmu memang sedap, Gus!"

"Ahhhh! Ahhh! Ahhhhh! Agghhhh!"

"YEAH, OH! OH! Hosh, Hosh, Asshhhh! Ahhhh."

Aku sendiri mulai mengocok kontolku dengan tangan sementara Mas Yono
masih sibuk membuat lecet lubang anusku. Biar, deh yang penting Mas Yono
bahagia. Saat-saat seperti ini sudah kutunggu-tunggu sejak lama. Rasa
sakitnya akan aku nikmati sampai sekecil apapun detilnya. Biarlah rasa
sakit ini menjadi saksi bahwa Mas Yono puas berhubungan intim denganku.

"Ahhh, ahhh, ahhhh!" Kontolku mulai berdenyut-denyut. "Bang, kayaknya
aku mau keluar duluan, Bang!"

"Sini, Gus biar, Abang kocokin!" Dilepaskannya kontolnya itu dari
anusku. Rasanya lenggang sekali rongga anusku. Rasa perih dan panas
menusuk itu masih terasa, bahkan saat aku menyentuh lubang anusku dengan
jari telunjuk untuk melihat kondisinya. Ada luka berdarah, perih sekali,
tapi kubiarkan saja karena sekarang kontolku sedang dicoliin Mas Yono.

"Ahhh, Bang! Bang! Ahhhh, Ahhhh, kocok, Bang! Yang kenceng, sebentar
lagi keluar."

"Peju perjaka mau keluar! Peju perjaka mau keluar!"

"OHHH, YES! AHHHHH! AHHHHHH!"

JROOOOOT! Kontolku menyemburkan cairan kental berwarna putih. Cairan itu
membasahi tangan Mas Yono.

"Wah, pejumu banyak sekali, Gus!"

Aku yang masih berada di laut kenikmatan cuman bisa mendesah lirih
sambil mengumpulkan tenaga yang masih tersisa. Tubuhku rasaya langsung
lemas, tapi aku masih punya satu tugas lagi. Mas Yono membantuku duduk,
sekarang dia berdiri di atas kasur, selangkangannya tepat di depan
wajahku. Dengan tangan berlumuran pejuku Mas Yono mengocok kontolnya
sendiri.

"Ahhh, ahhhh, ahhhhh!"

Aku membuka mulutku lebar siap menadah tumpahan pejuh Mas Yono.

"Ohhh, YES! Enak, Gus. Ahhh, Ahhhh!"

"Ayo, Bang keluarin!"

"Bentar, Gus! Belum sampai ujung, nih. Bentar!"

Tangan Mas Yono semakin cepat mengocok sampai terdengar bunyi-bunyian.

"Ohhhh! Ohhhh! Ohhhh! AHHHHHHHHH!"

Jrrroooooooot! Peju Mas Yono muncrat langsung masuk ke mulutku. Rasanya
manis, ada rasa pahit sedikit. Baunya amis, dan menusuk hidung. Segera
kutelan pejuh Mas Yono. Aku sama sekali tidak mempunyai masalah dalam
menelannya. Kuurut-urut kontolnya, menarik keluar pejuh yang masih
tersisa di dalam. Beberapa tetes mengalir keluar, dan kuhisap habis
kepala kontolya masuk ke dalam mulutku.

"Ahhh, kontolku rasanya mau patah, Gus!"

"Pejuhmu enak sekali, Bang!"

"Oh, yeahh, Ahhh, Ahhh. Gus, kamu pinter sekali ngemutnya. Udah, Gus!"

"Hehhehehehehe. Abang KO, nih ceritanya?"

"Abang nggak pernah ngentotin cowok sebelumnya."

"Enakan mana Bang, ngentotin cowok apa cewek?"

"Dua-duanya enak. Gus, kamu homo, ya?"

"Aku ini pemuas napsu birahimu, Bang. Aku akan melayanimu selama istrimu
tak di sini. Bagaimana, kamu mau, Bang?"

"Ngentotin kamu terus nggak bakal bosen, abang. Anusmu lebih enak dari
memek."

Kemudian kami berbaring kembali di atas tempat tidur, saling berpelukan,
dengan tubuh masih sama-sama berkeringat dan telanjang. Sekarang aku
milikmu Mas Yono, dan kau adalah miliku, meskipun aku harus membagimu
dengan Istrimu. Tapi dia tidak ada di sini, jadi Mas Yono sepenuhnya
milikku saat ini. Aku merapatkan pelukanku di perutnya, kontol kami
saling bersentuhan, sampai akhirnya kami tertidur karena kelelahan.

T a m a t.